1. Pengertian Qada'
dan Qadar
Para
ulama berbeda pandangan dalam memberikan arti kata Qa«±' dan
Qadar, sebagian ulama mengartikan sama, dan sebagian ulama yang
lain
memberikan
arti yang berbeda.
Pandangan
yang membedakan antara Qa«±' dan
Qadar, mendefiniskan
Qadar dengan “ilmu Allah Swt. tentang apa yang akan terjadi pada
makhluk
di masa mendatang.” Sedangkan Qa«±' adalah
“segala sesuatu
yang
Allah Swt. wujudkan (adakan atau berlakukan) sesuai dengan ilmu
dan
kehendaknya.” Sebagian ulama yang lain justru menerapkan definisi
di
atas secara terbalik, yakni definisi Qa«±' dan
Qadar
ditukar.
Pendapat
yang menyamakan Qa«±'
dan Qadar memberikan definisi:
”Aturan
baku yang diberlakukan oleh Allah Swt. terhadap alam ini, undangundang
yang
bersifat umum, dan hukum-hukum yang mengikat sebab
dan
akibat”
3. Kewajiban
beriman kepada Qada dan Qadar
Diriwayatkan
bahwa suatu hari Rasulullah saw. didatangi oleh seorang
laki-laki
yang berpakaian serba putih, dan rambutnya sangat hitam. Lelaki
itu
bertanya tentang Islam, Iman dan I¥s±n.
Tentang keimanan, Rasulullah
menjawab
yang artinya: “Hendaklah
engkau beriman kepada Allah, malaikatmalaikat-
Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman pula
kepada Qadar
(takdir) yang baik ataupun yang buruk”. (H.R. Muslim).
Lelaki
itu adalah Malaikat Jibril yang sengaja datang untuk memberikan
pelajaran
agama kepada umat Nabi Muhammad saw. Jawaban Rasulullah
yang
dibenarkan oleh Malaikat Jibril itu berisi rukun iman. Salah satu dari
rukun
iman itu adalah iman kepada Qa«±' dan
Qadar. Dengan demikian,
mempercayai
Qa«±'
dan Qadar merupakan kewajiban. Kita harus yakin
dengan
sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita,
baik
yang menyenangkan maupun yang tidak adalah atas kehendak atau
takdir
Allah Swt.
Sebagai
orang beriman, kita harus rela menerima segala ketentuan Allah
Swt.
atas diri kita. Di dalam sebuah hadis qudsi Allah Swt. berfirman yang
artinya:
”Siapa yang tidak
ri«± dengan Qa«±'-Ku dan Qadar-Ku dan tidak sabar
terhadap
bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari
Tuhan selain Aku”.
(H.R.at-Tabrani)
Takdir
Allah Swt. merupakan iradah (kehendak) Allah Swt.. Oleh sebab
itu,
takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir sesuai
dengan
keinginan kita, hendaklah kita bersyukur karena hal itu merupakan
nikmat
yang diberikan Allah Swt. kepada kita. Ketika takdir yang kita alami
tidak
menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita
terima
dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah
itu
ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Swt.
Maha
Mengetahui atas apa yang diperbuat-Nya.
4. Macam-Macam
Takdir
Mengenai
hubungan antara Qa«±'
dan Qadar dengan ikhtiar, do’a dan
tawakal
ini, para ulama berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam
seperti
dibawah ini:
a.
Takdir Mua’llaq
Takdir
Mua’llaq
adalah takdir yang erat kaitannya
dengan ikhtiar
manusia.
Misalnya, seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur
pertanian.
Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun.
Akhirnya
apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi
insinyur
pertanian. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:
“Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu
kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu
kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi
mereka selain Dia”. (Q.S ar-Ra’d/13:11)
b.
Takdir Mubram
Takdir
Mubram
adalah takdir yang terjadi pada diri
manusia dan tidak
dapat
diusahakan atau tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh manusia.
Misalnya,
ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit, atau dilahirkan
dengan
kulit hitam sedangkan ibu dan bapak kulit putih, dan
sebagainya.
B. Makna Beriman
kepada Qa«±' dan Qadar
Qa«±' dan Qadar atau
takdir berjalan menurut hukum “sunnatullah”. Artinya
keberhasilan
hidup seseorang sangat tergantung sejalan atau tidak dengan
sunnatullah.
Sunnatullah adalah hukum-hukum Allah Swt. yang
disampaikan
untuk
umat manusia melalui para Rasul, yang tercantum di dalam al-Qur'±n
berjalan
tetap dan otomatis. Misalnya malas belajar berakibat bodoh,tidak
mau
bekerja akan miskin, menyentuh api merasakan panas, menanam benih
akan
tumbuh dan lain-lain.
Kenyataan
menunjukkan bahwa siapa pun orangnya tidak mampu mengetahui
takdirnya.
Jangankan peristiwa masa depan, hari esok terjadi apa, tidak ada
yang
mampu mengetahuinya. Siapa pun yang berusaha dengan sungguhsungguh
sesuai
hukum-hukum Allah Swt. disertai dengan do’a, ikhlas dan
tawakal
kepada Allah Swt., dipastikan akan memperoleh keberhasilan dan
mendapatkan
cita-cita sesuai tujuan yang ditetapkan.
Berkaitan
dengan makna beriman kepada Qa«±' dan Qadar, dapat diketahui
bahwa
nasib manusia telah ditentukan Allah Swt. sejak sebelum ia dilahirkan.
Walaupun
setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa
manusia
hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar.
Manusia
tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang
dengan
sendirinya.
Janganlah
sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas
berusaha
dan berbuat kejahatan. Pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin
Khattab,
seorang pencuri tertangkap dan dibawa ke hadapan Khalifah Umar.
” Mengapa Engkau mencuri?” tanya Khalifah. Pencuri itu menjawab, ”Memang
Allah sudah menakdirkan saya menjadi pencuri”. Mendengar jawaban demikian,
Khalifah
Umar marah, lalu berkata, ” Pukul saja orang ini dengan cemeti, setelah
itu potonglah tangannya!” para
sahabat lain bertanya, ” Mengapa hukumnya
diberatkan seperti itu?”Khalifah
Umar menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal. Ia
wajib dipotong tangannya sebab mencuri dan wajib dipukul
karena berdusta
atas nama Allah”.
Beriman
kepada takdir selalu terkait dengan 4 (empat) hal yang selalu
berhubungan
dan tidak terpisahkan. Keempat hal itu adalah iman kepada
“Maka Dia
mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya,
sungguh beruntung
orang yang mensucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi
orang yang
mengotorinya” (Q.S. asy-Syams/91:8-10)
"Apakah
manusia mengira dibiarkan tanpa pertanggungjawaban?” (Q.S.
Al-
Qiyamah/75:36).
Beberapa
tamsil peristiwa ini akan dapat memudahkan dalam memahami
persoalan
takdir.
Dikisahkan
ketika Umar bin Khattab akan berkunjung ke negeri Syam
(Syiria
dan Palestina sekarang) beliau mendengar berita bahwa di sana
sedang
terjadi wabah penyakit, sehingga beliau membatalkan rencananya
tersebut.
Kemudian seseorang tampil bertanya: “(Apakah Anda lari/
menghindar dari
takdir Allah?)” Umar serta merta menjawab: “(Saya lari/
menghindari dari
takdir Allah kepada takdir-Nya yang lain)”
Sejak
zaman Rasulullah saw. telah terjadi kekeliruan dalam menyikapi takdir,
salah
satunya beliau bersabda:“Pada akhir zaman ada suatu golongan yang
berbuat
kemaksiatan, dengan (sangat enaknya) mereka berkata: “Allah Swt.
telah menakdirkan
saya mencuri.”
Peristiwa-peristiwa
tersebut menunjukkan kesalahan dalam memahami
takdir,
padahal dengan tegas Allah Swt. melarangnya. Akhlak yang diajarkan
Islam
adalah setiap keburukan yang menimpa merupakan kesalahan kita
sebagai
manusia, sementara segala kebaikan dan keberhasilan merupakan
anugerah
Allah Swt.
b. Ikhtiar
Ikhtiar
adalah berusaha dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati
dalam
menggapai cita-cita dan tujuan. Allah Swt. menentukan takdir, kita
Dajjal, kejahatan
terburuk yang pasti datang, atau bahkan kiamat yang
sangat amat
dahsyat?”(HR. at-Tirmid©i).
Jika
sudah diikhtiarkan namun kegagalan yang diperoleh, maka dalam
hubungan
inilah letak “rahasia
Ilahi.” Meskipun begitu, Allah Swt. tidak
menyia-nyiakan
semua amal yang sudah dilakukan, walaupun gagal.
Firman
Allah Swt.: “
Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa
yang telah
diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan
diperlihatkan
(kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan
balasan yang
paling sempurna”. (Q.S. an-Najm/53:39-41).
Berdasarkan
penjelasan di atas, jelaslah kenapa Allah Swt. mewajibkan
manusia
berikhtiar. Walaupun sudah ditentukan Qa«±' dan
qadarnya, di
pundak
manusia lah kunci keberhasilan dan keberuntungan hidupnya.
Di
samping itu, begitu banyak anugerah yang telah Allah Swt. berikan
kepada
manusia berupa: naluri, panca indera, akal, kalbu, dan aturan
agama,
sehingga lengkaplah sudah bekal yang dimiliki manusia menuju
kebahagiaan
hidup yang diinginkan.
c. Doa
Doa
adalah ikhtiar batin yang besar pengaruhnya bagi manusia yang
meyakininya.
Hal ini karena doa merupakan bagian dari motivasi
intrinsik.
Bagi yang meyakini, doa akan memberikan energi dalam
menjalani
ikhtiarnya, karena Allah Swt. telah berjanji untuk mengabulkan
permohonan
orang yang bersungguh-sungguh memohon. Firman Allah
Swt.:
“Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila ia berdoa
kepada-Ku, ..”
(Q.S. al-Baqarah/2:186)
d. Tawakal
Setelah
meyakini dan mengimani takdir, kemudian dibarengi dengan
ikhtiar
dan do’a, maka tibalah manusia mengambil sikap tawakal. Tawakal
adalah
“menyerahkan segala urusan dan hasil ikhtiarnya hanya kepada
Allah
Swt.”.
Dasar
pengertian tawakal diambil dari peristiwa yang terjadi pada zaman
Rasulullah
saw.: Pada suatu hari datang seorang sahabat ke kediaman
Rasulullah
dengan mengendarai unta. Sesampainya di depan rumah
C. Hikmah Beriman
kepada Qa«±' dan Qadar
1.
Semakin meyakini bahwa segala
sesuatu
yang terjadi di alam ini
tidak
lepas dari sunnatullah;
2.
Semakin termotivasi untuk
senantiasa
berikhtiar atau
berusaha
lebih giat lagi dalam
mengejar
cita-citanya.
3.
Meningkatkan keyakinan akan
pentingnya
peran doa bagi
keberhasilan
sebuah usaha;
4.
Meningkatkan optimisme
dalam
menatap masa depan
dengan
ikhitar yang sungguhsungguh;
5.
Meningkatkan kekebalan jiwa
dalam
menghadapi segala
rintangan
dalam usaha
sehingga
tidak berputus asa
ketika
mengalami kegagalan;
6.
Menyadarkan manusia bahwa
dalam
kehidupan ini dibatasi
oleh
peraturan-peraturan Allah
Swt.,
yang tujuannya untuk
kebaikan
manusia itu sendiri